Sabtu, 11 Januari 2014

Call from The Parallel

Diposting oleh kuinda di 14.50
Genre: Fiction

Ada dunia dimana kamu sedang menjadi apa yang paling kamu harapkan. Sedang melakukan apa yang paling kamu inginkan. Dan sedang mendapatkan apa yang paling kamu dambakan. Percaya nggak? Aku sih percaya. Aku percaya bahwa di suatu tempat di dunia itu, aku yang lain sedang menjalani kehidupan seperti hidup yang benar-benar aku inginkan sekarang.

Aku menyebutnya dunia paralel.

“Nat, ada Sandy tuh!”

Aku spontan menoleh ke belakang dan, “Shit! Ganteng!”

Well, okay. Aku percaya di dunia paralel ketika aku yang lain sedang memandang Sandy yang lain, yang terucap dari mulut aku yang lain bukanlah, “Shit! Ganteng!” melainkan “Astagfirullah, ganteng!” kemudian aku yang lain menundukkan kepala dengan malu-malu. Aku yang lain benar-benar wanita sholihah pemalu dambaan setiap laki-laki.

Enough! Itu aku yang lain, bukan aku. Di dunia paralel, bukan di duniaku.

“Kemaren kemana aja sama dia?”

Sejujurnya itu pertanyaan dengan jawaban paling tai sedunia. Okelah, I was happy we date. I WAS, lho ya. Kemarin doang bahagianya. Karena keeseokan harinya, mules dan mecret menghancurkan segala kebahagiaan yang harusnya jadi bekal berangkat kuliah sekarang. Kemarin kita sengaja makan pedes-pedesan. Di luar ekspektasi, ternyata pedesnya kebangetan.

Di dunia paralel, Sandy yang lain nggak akan ngajak aku yang lain makan pedes. Kami yang lain pasti makan yang manis-manis. Suap-suapan cupcakes, maybe.

Sandy yang lain, bukan Sandy yang ini. Aku yang lain, bukan aku yang ini. Dan di dunia paralel, bukan di duniaku yang ini.

“Nggak penting lah yang kemaren-kemaren, yang penting besok!”

“Besok?” Devi mengerutkan keningnya.

Satnite!” Seruku antusias.

Having a date?”

Or maybe, just drop in? I dunno but it must be nice.”

Is it going to be nice? I dunno. Apa pun yang terjadi besok, aku percaya di dunia paralel that must be very nice. Kalau pun besok aku nggak bahagia, seenggaknya di dunia paralel aku yang lain sedang berbahagia.

***

Laporan cuaca Jogjakarta hari Sabtu, 4 Januari 2014. Berawan, mendung, lalu hujan. Good, hujan! It makes sandy trapped here, so he can’t be back home.

He asked coffee. Dan aku antara rela-nggak rela meninggalkannya sendirian di ruang tamu karena well, it feels like take a long-long-long time. It makes me miss him, though actually it only takes 5-8 menitan.

Baru saja kuambil satu sachet kopi instant, ponselku bergetar hebat dan membuat geli sekujur pahaku yang nggak ada seksi-seksinya ini—this is so not important information. Maybe it’s him, missing me. Haha, ngarep! Ternyata dari nomor nggak dikenal. Who the fuck call me at midnight?

“Halo.”

Good. Merinding. Karena yang terdengar adalah suara cewek yang terisak sambil setengah berteriak.

“Halo?”

Gak jadi merinding. Orang di seberang sana menangis dengan hebatnya dan aku tahu nggak ada jenis hantu yang tangisannya semi mewek dan teriak-teriak nggak jelas semacam ini. Tipe-tipe tangisannya seperti tangisanku, jadi aku yakin orang di seberang telepon sana adalah manusia semacam aku.

I have too many friends who are similar to me, their laugh and their crying, too.

“Nat, bisa nggak sih nangisnya berhenti?” Aku mendengar suara Devi di sana. She’s talking to whom? ‘Nat’? Me?

“Halo,” akhirnya seseorang di ujung sana berbicara. Aku sama sekali tak mengenali suaranya.

“Ya?”

Is it you, Nat?

“Ya, ini siapa?”

It’s glad to talk with you,” katanya masih sambil sesenggukan. Setelah menarik napas berat, ia pun berbicara lagi, “I’m going to give you a live reports. This is 6th January—“

It’s 4th January,” ralatku setelah melirik kalender.

“Shut up, bitch. This is 6th!”

The way she’s talking reminds me of me.

“Oke, jadi apa live report-nya?”

This is the worst feeling I’ve ever had. I’m crying all this day.”

“Lalu menurut lo, apa peduli gue?”

“Lo harus peduli.”

“Why? I’m not your psychiatrist.”

“Because I am you.”

Aku melirik jam, setan mana lagi yang sedang ngelindur?

You are making coffee now,” lanjutnya. Hey, aku nggak pernah memanggil peramal, kan? “Jam dua nanti, dia masih duduk di ruang tamu. If he says something, answer him with no. A big no. Or a ‘not now’. Understand?”

“What he says?”

“He said, ‘I love you’.”

Deg!

“What the fuck are you?”

“I AM YOU!” Teriaknya. “Gue adalah lo!”

“Thank you,” Kataku. Cukup sudah menghadapi setan yang lagi ngelindur, mungkin dia cuma salah satu dari teman yang kebetulan aku lupa suaranya dan sedang mengerjaiku. Jadi aku berniat menekan tombol—

“Gue dari dunia paralel.”

Aku terperangah.

“Gue hidup di dunia dimana lo mendapatkan semua yang lo inginkan. Sementara lo, lo hidup di dunia dimana lo cukup mendapatkan semua yang lo butuhkan. Lo pengen makan manis tiap hari? Ya, di sini gue makan manis tiap hari dan gue kena diabetes. Lo pengen jadi jadi anak rajin? Ya, di sini gue rajin dan boros masker, cuma buat ngilangin kantung mata. Lo pengen Sandy nembak lo? Lo pengen jadi pacarnya Sandy? Ya, di sini Sandy nembak gue dan gue jadi pacarnya Sandy. But it only took a day, we broke up. Listen, Nat. Apa yang lo inginkan, dampaknya ada di kehidupan gue, di dunia paralel. Dan apa yang lo butuhkan, dampaknya ada di kehidupan lo, dunia nyata.”

“Kalau gitu yang gue inginkan adalah ditembak Sandy, jadi pacarnya Sandy, dan nggak putus dari Sandy.”

You can’t. Seperti ketika lo pengen makan manis tiap hari tapi lo nggak pengen kena diabetes, gue di sini makan manis tiap hari dan nggak bisa nolak untuk kena diabetes.”

“Tapi itu elo. Lo hidup di dunia lo dan gue hidup di dunia gue. We’re different.”

“Ya, that’s why I warn you!” Ia berseru. “Apa lo yang inginkan berbeda dengan apa yang lo butuhkan. Dunia gue adalah yang lo inginkan, dunia lo adalah apa yang lo butuhkan. Yang lo pengen adalah punya pacar dan yang lo butuhkan adalah bahagia, tapi, percaya sama gue. Percuma lo punya pacar sehari doang. Euforia sehari doang. Bahagia sehari doang.”

So?”

“Gue mengenal lo karena lo adalah gue. I know you’re hard to listen, but please for now, if he says the spell, you have your own spell to break his spell.”

“What’s that?”

“That’s not ‘I love you too’. That’s ‘no’ or ‘not now’. Please notice me, thanks for listening.”

Tuuttuuttuut…

Tai setai-tainya.

Aku mengecek kembali nomor telepon itu dan hey, itu telepon rumah! Kode telepon Jogja. Okay, mari kita telepon balik untuk mengetahui siapa pelaku keisengan yang nggak lucu ini.

“Nomor yang anda tuju belum terpasang—“

What the fuck is going on?

Bipbip! Oh, Sandy..

Does it take a year to make a cup of coffee?

Aku kembali dengan secangkir kopi, dan tentu saja perasaan yang tidak karuan. Aku memandang Sandy seperti melihat hantu, dengan ketakutan dan kecemasan. Is he the cute guy who hurts another me in my parallel world? Or, is he the cute guy who’s going to hurts me?

Hey, Nat. I love you.

Mungkin aku yang lain benar. Sandy adalah orang yang aku inginkan, bukan orang yang kubutuhkan.

***

Tanggal 6 Januari. Tanggal dimana aku yang lain putus dari Sandy yang lain, di dunia yang lain, dunia paralel. Tapi hari ini di duniaku yang ini, buktinya aku nggak putus dari Sandy. Bitch please, tentu saja karena kami nggak jadian.

Dan hari ini tidur siangku diganggu oleh petugas Telkom. What the fuck are they doing?

“Masang telepon,” kata penghuni kamar sebelah. Good, kosan gue ada teleponnya dan katanya dipasang wifi.

“Sini gue cek teleponnya udah bisa belom,” kata mbak yang lain, tapi beberapa detik kemudian ia berseru, “Kampret pulsa gue abis!”

Aku tertawa, kemudian kuraih ponsel mbak-nya dan mulai men-dial nomor telepon kosku sendiri.

Suprisingly, nomor telepon yang sama dengan nomor telepon aku yang lain.

Then it’s ringing..

Tilulilulit..



Ps: Gue yakin dunia paralel itu ada. Tapi dunia paralel gue nggak muluk-muluk amat. Di dunia itu, gue yang lain nggak pernah ditembak dan nggak pernah jadian sama 'ituh' karena gue jadiannya sama Reza Rahardian.

0 komentar:

 

chicken monster Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review