Genre: Fiction
Ada dunia dimana kamu sedang menjadi apa yang paling kamu harapkan.
Sedang melakukan apa yang paling kamu inginkan. Dan sedang mendapatkan apa yang
paling kamu dambakan. Percaya nggak? Aku sih percaya. Aku percaya bahwa di
suatu tempat di dunia itu, aku yang lain
sedang menjalani kehidupan seperti hidup yang benar-benar aku inginkan sekarang.
Aku menyebutnya dunia paralel.
“Nat, ada Sandy tuh!”
Aku spontan menoleh ke belakang dan, “Shit! Ganteng!”
Well, okay. Aku
percaya di dunia paralel ketika aku yang
lain sedang memandang Sandy yang lain,
yang terucap dari mulut aku yang lain
bukanlah, “Shit! Ganteng!” melainkan “Astagfirullah, ganteng!” kemudian aku yang lain menundukkan kepala dengan
malu-malu. Aku yang lain benar-benar
wanita sholihah pemalu dambaan setiap laki-laki.
Enough! Itu aku yang lain, bukan aku. Di dunia
paralel, bukan di duniaku.
“Kemaren kemana aja sama dia?”
Sejujurnya itu pertanyaan dengan jawaban paling tai sedunia.
Okelah, I was happy we date. I WAS, lho ya. Kemarin doang bahagianya.
Karena keeseokan harinya, mules dan mecret menghancurkan segala kebahagiaan
yang harusnya jadi bekal berangkat kuliah sekarang. Kemarin kita sengaja makan
pedes-pedesan. Di luar ekspektasi, ternyata pedesnya kebangetan.
Di dunia paralel, Sandy
yang lain nggak akan ngajak aku yang
lain makan pedes. Kami yang lain
pasti makan yang manis-manis. Suap-suapan cupcakes, maybe.
Sandy yang lain,
bukan Sandy yang ini. Aku yang lain,
bukan aku yang ini. Dan di dunia paralel, bukan di duniaku yang ini.
“Nggak penting lah yang kemaren-kemaren, yang penting besok!”
“Besok?” Devi mengerutkan keningnya.
“Satnite!” Seruku
antusias.
“Having a date?”
“Or maybe, just drop
in? I dunno but it must be nice.”
Is it going to be
nice? I dunno. Apa pun yang terjadi besok, aku percaya di dunia paralel that must be very nice. Kalau pun besok
aku nggak bahagia, seenggaknya di dunia paralel aku yang lain sedang berbahagia.
***
Laporan cuaca Jogjakarta hari Sabtu, 4 Januari 2014.
Berawan, mendung, lalu hujan. Good,
hujan! It makes sandy trapped here, so he
can’t be back home.
He asked coffee. Dan
aku antara rela-nggak rela meninggalkannya sendirian di ruang tamu karena well, it feels like take a long-long-long
time. It makes me miss him, though actually it only takes 5-8 menitan.
Baru saja kuambil satu sachet kopi instant, ponselku
bergetar hebat dan membuat geli sekujur pahaku yang nggak ada seksi-seksinya
ini—this is so not important information.
Maybe it’s him, missing me. Haha,
ngarep! Ternyata dari nomor nggak dikenal.
Who the fuck call me at midnight?
“Halo.”
Good. Merinding.
Karena yang terdengar adalah suara cewek yang terisak sambil setengah
berteriak.
“Halo?”
Gak jadi merinding. Orang di seberang sana menangis dengan
hebatnya dan aku tahu nggak ada jenis hantu yang tangisannya semi mewek dan
teriak-teriak nggak jelas semacam ini. Tipe-tipe tangisannya seperti
tangisanku, jadi aku yakin orang di seberang telepon sana adalah manusia
semacam aku.
I have too many
friends who are similar to me, their laugh and their crying, too.
“Nat, bisa nggak sih nangisnya berhenti?” Aku mendengar
suara Devi di sana. She’s talking to
whom? ‘Nat’? Me?
“Halo,” akhirnya seseorang di ujung sana berbicara. Aku sama
sekali tak mengenali suaranya.
“Ya?”
“Is it you, Nat?”
“Ya, ini siapa?”
“It’s glad to talk
with you,” katanya masih sambil sesenggukan. Setelah menarik napas berat,
ia pun berbicara lagi, “I’m going to give
you a live reports. This is 6th January—“
“It’s 4th
January,” ralatku setelah melirik kalender.
“Shut up, bitch. This
is 6th!”
The way she’s talking
reminds me of me.
“Oke, jadi apa live
report-nya?”
“This is the worst
feeling I’ve ever had. I’m crying all this day.”
“Lalu menurut lo, apa peduli gue?”
“Lo harus peduli.”
“Why? I’m not your psychiatrist.”
“Because I am you.”
Aku melirik jam, setan mana lagi yang sedang ngelindur?
“You are making coffee
now,” lanjutnya. Hey, aku nggak pernah memanggil peramal, kan? “Jam dua
nanti, dia masih duduk di ruang tamu. If
he says something, answer him with no. A big no. Or a ‘not now’. Understand?”
“What he says?”
“He said, ‘I love you’.”
Deg!
“What the fuck are you?”
“I AM YOU!”
Teriaknya. “Gue adalah lo!”
“Thank you,” Kataku.
Cukup sudah menghadapi setan yang lagi ngelindur, mungkin dia cuma salah satu
dari teman yang kebetulan aku lupa suaranya dan sedang mengerjaiku. Jadi aku
berniat menekan tombol—
“Gue dari dunia paralel.”
Aku terperangah.
“Gue hidup di dunia dimana lo mendapatkan semua yang lo
inginkan. Sementara lo, lo hidup di dunia dimana lo cukup mendapatkan semua
yang lo butuhkan. Lo pengen makan manis tiap hari? Ya, di sini gue makan manis
tiap hari dan gue kena diabetes. Lo pengen jadi jadi anak rajin? Ya, di sini
gue rajin dan boros masker, cuma buat ngilangin kantung mata. Lo pengen Sandy
nembak lo? Lo pengen jadi pacarnya Sandy? Ya, di sini Sandy nembak gue dan gue
jadi pacarnya Sandy. But it only took a
day, we broke up. Listen, Nat. Apa yang lo inginkan, dampaknya ada di
kehidupan gue, di dunia paralel. Dan apa yang lo butuhkan, dampaknya ada
di kehidupan lo, dunia nyata.”
“Kalau gitu yang gue inginkan adalah ditembak Sandy, jadi
pacarnya Sandy, dan nggak putus dari Sandy.”
“You can’t.
Seperti ketika lo pengen makan manis tiap hari tapi lo nggak pengen kena
diabetes, gue di sini makan manis tiap hari dan nggak bisa nolak untuk kena
diabetes.”
“Tapi itu elo. Lo hidup di dunia lo dan gue hidup di dunia
gue. We’re different.”
“Ya, that’s why I warn
you!” Ia berseru. “Apa lo yang inginkan berbeda dengan apa yang lo
butuhkan. Dunia gue adalah yang lo inginkan, dunia lo adalah apa yang lo butuhkan. Yang lo pengen adalah punya pacar dan yang lo butuhkan adalah
bahagia, tapi, percaya sama gue. Percuma lo punya pacar sehari doang. Euforia
sehari doang. Bahagia sehari doang.”
“So?”
“Gue mengenal lo karena lo adalah gue. I know you’re hard to listen, but please for now, if he says the spell,
you have your own spell to break his spell.”
“What’s that?”
“That’s not ‘I love
you too’. That’s ‘no’ or ‘not now’. Please notice me, thanks for listening.”
Tuuttuuttuut…
Tai setai-tainya.
Aku mengecek kembali nomor telepon itu dan hey, itu telepon
rumah! Kode telepon Jogja. Okay, mari kita telepon balik untuk mengetahui siapa
pelaku keisengan yang nggak lucu ini.
“Nomor yang anda tuju belum terpasang—“
What the fuck is going
on?
Bipbip! Oh,
Sandy..
Does it take a year to
make a cup of coffee?
Aku kembali dengan secangkir kopi, dan tentu saja perasaan
yang tidak karuan. Aku memandang Sandy seperti melihat hantu, dengan ketakutan
dan kecemasan. Is he the cute guy who
hurts another me in my parallel world? Or, is he the cute guy who’s going to
hurts me?
“Hey, Nat. I love you.”
Mungkin aku yang lain benar. Sandy adalah orang yang aku inginkan, bukan orang
yang kubutuhkan.
***
Tanggal 6 Januari. Tanggal dimana aku yang lain putus dari
Sandy yang lain, di dunia yang lain, dunia paralel. Tapi hari ini di duniaku
yang ini, buktinya aku nggak putus dari Sandy. Bitch please, tentu saja karena kami nggak jadian.
Dan hari ini tidur siangku diganggu oleh petugas Telkom. What the fuck are they doing?
“Masang telepon,” kata penghuni kamar sebelah. Good, kosan gue ada teleponnya dan katanya
dipasang wifi.
“Sini gue cek teleponnya udah bisa belom,” kata mbak yang
lain, tapi beberapa detik kemudian ia berseru, “Kampret pulsa gue abis!”
Aku tertawa, kemudian kuraih ponsel mbak-nya dan mulai men-dial nomor telepon kosku sendiri.
Suprisingly, nomor
telepon yang sama dengan nomor telepon aku
yang lain.
Then it’s ringing..
Ps: Gue yakin dunia paralel itu ada. Tapi dunia paralel gue nggak muluk-muluk amat. Di dunia itu, gue yang lain nggak pernah ditembak dan nggak pernah jadian sama 'ituh' karena gue jadiannya sama Reza Rahardian.
0 komentar:
Posting Komentar