I like the way you make me giggle over you
Don’t put me here in the middle of her and you*
Aku melangkah tergesa, sementara jari dan mata masih sibuk
mencari-cari nomor telepon penjual karangan bunga. Hari ini aku benar-benar
berniat memesannya. Sekadar untuk memberikan selamat kepada pasangan lama yang
sok baru, dan mungkin sekaligus untuk mengucapkan turut berduka cita atas
kematianku.
Kenapa sih mereka harus balikan? Kenapa dulu meninggalkan
dia demi aku—katanya—kalau ujung-ujungnya jadian lagi? PDKT-nya sama siapa, jadiannya sama siapa?! Balikan pula!
Jujur, I’m almost
dying.
Dengan cara apapun, Tuhan, kumohon cabut nyawaku sekarang!
Brak!
Shit! Tabrakan
seperti ini tidak akan membuatku mati, malah membuatku sebal dua kali. Aku mendongkak,
bersiap mendamprat siapapun yang menabrakku hingga ponselku terlempar jauh.
Kalau ponselku sampai tak bernyawa lagi, bagaimana bisa aku memesan karangan
bunga—yang sebenarnya untukku sendiri?
I haven’t called the
flower man, have I?
Heran karena yang di hadapanku sekarang adalah seorang cowok
dengan sebuket bunga. Meskipun bukan karangan bunga, sih. Setidaknya dia
membawa bunga. Dan dengan paksa, kurebut buket itu dari tangannya, lalu kabur
sambil kuraih ponsel yang terlempar tadi. Maaf, flower man, aku membiarkanmu melongo sendirian di situ. Jangan
terpaku oleh kelakuanku.
***
“Semangat, ya.”
“Sabar, ya.”
“Jangan nangis, ya.”
Begitu banyak kalimat berakhiran ‘ya’ yang ingin kujawab
dengan ‘tidak’. Tapi aku terpaksa mengangguk sambil berpura-pura semangat,
sabar, dan—yang paling penting—tidak menangis. Tangan kiriku masih menggenggam
erat buket bunga yang kurampas tadi, sementara tangan kananku menelanjangi
bunga-bunga itu hingga separuhnya tak lagi bermahkota.
“Who brought you
flower?” Viona meledekku, terlihat dari tatapan matanya dan bibirnya yang
seakan menahan tawa.
“Nyet, ini tulisannya ‘With
biggest condolence’ kalo lo mau tahu,” Kataku asal, sebelum benar-benar
memperhatikan secarik kertas dengan tulisan yang membuatku nyaris muntah, muak
karena terlalu terbiasa dengan kalimat yang tak akan pernah lagi terucap
untukku itu.
Viona lekas merebutnya, dan kertas itu tampaknya langsung
menyedot perhatiannya. “Hey, this is ‘I
love you’, Nyet!”
“Gue bacanya aja mau muntah, lo bilang gitu langsung naik ke
tenggorokan si onigiri yang gue makan tadi!”
“Hayo, siapa?”
Pertanyaan yang tidak penting. Viona pasti akan mendampratku
kalau kubilang aku merebutnya.
“Someone with his big
condolence.”
“Whoever your ‘someone’,
nggak ada ceritanya jadi PHO lagi ya.”
Lagi-lagi kalimat berakhiran ‘ya’ yang ini kujawab ‘tidak’.
Dengan merampas buket bertuliskan ‘I love
you’ yang harusnya diberikan kepada pacarnya, secara tidak langsung aku
sudah menjadi perusak hubungan si flower
man tadi dengan pacarnya. Atau dengan pelanggan toko bunganya, mungkin.
Not to be PHO is not
easy. Sometimes you fall in love with someone who already has someone to love. And
then they fall in you, it means you hurt someone’s someone. Ah, who cares about PHO?
*) Lala Karmela, Sweet Temptation
**) PHO: Perusak Hubungan Orang, gue pernah dikatain ini sama
cewe yang ngerasa hubungannya gue rusak -_- padahal… pacarnya sendiri yang
ngerusak hubungan mereka. *emot geleng-geleng*
***) Gue minta maaf kalo bahasa Inggris gue acak-acakan, namanya juga BE-LA-JAR.
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Apabila ada kesamaan
nama, tempat, waktu, atau kejadian, itu hanyalah kebetulan semata. Kalau yang
di-bold, itu mungkin bukan kebetulan. Itu curhatan. Sekian.
0 komentar:
Posting Komentar